Senin, 17 Maret 2014

Sengketa Blok Ambalat dan Penyelesaiannya


SENGKETA BLOK AMBALAT

Wilayah Ambalat berada di Laut Sulawesi, sebelah timur pantai Kalimantan. Indonesia dan Malaysia saling klaim atas lempeng benua (continental) shelf) dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah itu. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi tidak bersifat territorial.  Clive Schofiled dan Ian Storey menduga bahwa “Malaysia menganggap perbatasan Maritimnya ditentukan atas dasar sama jarak (equidistant), dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun problemnya, ICJ tidak memutuskan batas maritime tersebut. Disisi lain, Indonesia mengklaim bahwa pulau-pulau kecil itu tidak lebih dari pulau karang berdasarkan definisi UNCLOS. Oleh karena itu, Indonesia menuntut haknya atas jurisdiksi 12 mil laut dari territorial lautnya yang tidak mencakup perluasan continental shelf ataupun EEZ.  Oleh karena itu, penentuan garis perbatasan maritim dalam pandangannya berdasarkan pada kompromi kedua belah pihak atas status legal wilayah tersebut dan dampak potensialnya pada delimitasi yang berbasis prinsip jarak yang sama.

Schofield dan Storey secara tepat mencatat apa yang terjadi dalam ketegangan Indonesia dan Malaysia atas Blok Ambalat antara Februari dan Maret 2005. Desember 2004, Indonesia memberi ijin eksplorasi wilayah yang diklaimnya di Blok Ambalat kepada Perusahaan Minyak ENI Italia dan UNOCAL AS. Ketegangan mulai muncul ketika Malaysia memberikan ijin eksplorasi di wilayah yang diperselisihkan kepada Petronas Carigali dan International Royal Dutch/Shell Group, 16 Februari 2005. Konsesi blok yang diberikan bertubrukan dengan bagian blok Ambalat yang diklaim Indonesia.

Departemen Luar Negeri menganggap tindakan Malaysia melanggar kedaulatan dan berikutnya mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia. Langkah seruap diambil Malaysia.  

Ketika hubungan diplomatik memburuk, militer dikirim ke wilayah yang diperselisihkan. 3 Maret, Presiden Indonesia SBY menginstruksikan “militer untuk melindungi kedaulatan Indonesia dan mengamankan wilayah sengketa.” Saat tiga kapal AL Indonesia berpatroli di wilayah sengketa, gugus tugas dari armada Indonesia Timur secara bertahap dikirim hingga mencapai 8 kapal perang dengan dibantu 4 jet tempur F-16 yang ditempatkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, 7 Maret.

Angkatan bersenjata Malaysia juga menempuh langkah yang sama sambari mengupayakan jalur diplomasi. 4 Maret, angkatan laut dan kapal polisi laut Diraja Malaysia dimobilisasi ke Blok Ambalat.  Unit angkatan udara juga diperkuat di Sabah dan Sarawak. Ketika pembicaraan diplomatik dimulai, militer Indonesia mengurangi kehadiran sejumlah kapal perangnya di wilayah Ambalat namun menolak untuk ‘menarik diri’.

Meski demikian, pengurangan armada kapal perang di wilayah sengketa tidak mencegah terjadinya insiden kecil. Kapal perang Indonesia KRI Tedung Naga bertabrakan dengan kapal patroli KD Rencong.

Kedua belah pihak saling menuduh menjadi penyebab tabrakan. Dalam pertemuan darurat merespon insiden tersebut, Presiden Yudhoyono memerintahkan panglima militer untuk menahan diri dan memberikan kesempatan kepada pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara damai. Langkah yang sama juga ditempuh Malaysia.  

Presiden SBY semakin meningkatkan posisi politiknya ketika mengunjungi Pulau Sebatik, wilayah Indonesia terdekat dengan Blok Ambalat, 8 Maret 2005, sehari sebelum Menlu kedua negara dijadwalkan menyelenggarakan pertemuan darurat. Kunjungan SBY ke pulau Sebatik berbarengan dengan klaim militer Indonesia bahwa 7 kapal perangnya mengejar kapal patroli Malaysia. Selain, itu diumumkan  penempatan batalion angkatan laut dari Jawa ke Kalimantan Timur.


KOMENTAR

            Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik dan telah demikian hal nya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum antar Negara. Suatu Negara hanya dapat berfungsi berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya, yang secara internal diwujudkan dalam bentuk supremasi dari lembaga-lembaga pemerintahan dan secara eksternal dalam bentuk supremasi Negara sebagai subjek hukum internasional. Konsep dasar dari ruang berlakunya kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi Negara dibatasi oleh wilayah Negara itu, sehingga Negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Dengan demikian wilayah Negara menjadi konsep yang paling mendasar (fundamental) dalam hokum internasional, untuk menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dan eksklusif Negara dalam batas-batas wilayahnya.
            Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah Negara akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan Negara atas wilayah itu. Oleh karena nya, hukum internasional tidak hanya sekedar mengatur perolehan atau hilang nya wilayah Negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan Negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.
            Isu ambalat ini menarik perhatian masyarakat Indonesia dan memicu gelombang anti Malaysia di semua tingkatan masyarakat dari rakyat kecil hingga elit politik. Dalam isu ini, masyarakat Indonesia secara kompak menyuarakan penentangannya atas klaim Malaysia, sehingga mengingatkan kembali slogan propaganda pada era Sukarno, ‘Ganyang Malaysia’. Pelbagai demonstrasi diadakan di depan gedung Kedutaan Malaysia.
            Dalam kasus ambalat ini kedua Negara harus membuat keputusan yang tepat yang tidak merugikan bagi kedua Negara. Tapi mengingat kekayaan alam yang dimiliki ambalat, tentu saja kedua Negara ingin mengklaim wilayah tersebut, agar kehidupan perekonomian nya meningkat. Selain itu keuntungan bagi Malaysia adalah semakin meluasnya wilayah Negara tersebut.
            Tidak ada satu Negara pun yang menginginkan perang, karena perang hanyalah membawa dampak negatif bagi kedua Negara itu, seperti yang terjadi di wilayah timur tengah, keadaan Negara kacau balau, dan rakyatlah yang menjadi korban dari semua ini. Maka dari itu untuk menyelesaikan kasus ambalat ini diharapkan dapat diselesaikan secara damai, adapun metode-metode penyelesaian sengketa internasional secara damai adalah sebagai berikut:
1.      Arbitrase (arbitration)
2.      Penyelesaian yudisial (judicial settlement)
3.      Negosiasi, mediasi, konsiliasi
4.      Penyelidikan (inquiry)
5.      Penyelesaian di bawah naungan Organisasi PBB

HASSAN WIRAJUDA mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) mengatakan penyelesaian sengketa antara Republik Indonesia - Malaysia ini bisa memakan waktu sampai puluhan tahun. Ini diungkapkannya saat menjadi pembicara dalam Kuliah Tamu Perundingan Batas Wilayah Maritim dengan Negara Tetangga di Fakultas Hukum, Jumat (26/06). Dalam siaran pers Humas Unair yang diterima suarasurabaya.net, mantan Menlu tersebut membandingkan dengan kasus sengketa antara Republik Indonesia dan Vietnam. Kasus tersebut adalah sengketa Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara.
Meskipun sudah lebih dari 30 kali perundingan formal dan informal diselenggarakan, kedua pihak masih bertahan dengan posisi hukum masing-masing atas Laut Cina Selatan itu.Total waktu untuk penyelesaian RI-Vietnam ini membutuhkan waktu setidaknya 32 tahun. Beda Vietnam berbeda pula dengan Singapura. Kasus sengketa Indonesia-Singapura baru bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun.
Saat ini, tutur HASSAN WIRAJUDA, pihaknya sudah melakukan 13 kali perundingan dan kini tengah bersiap untuk memasuki perundingan yang keempat belas. Ia paham ekspektasi masyarakat terhadap penyelesaian Ambalat begitu besar, namun ia meminta agar masyarakat bersabar.
“Kami akan tetap lakukan upaya diplomasi ini dan tidak akan melakukan peperangan. Karena pada dasarnya kami juga menangkap sinyal, pihak Malaysia juga ingin menyelesaikan permasalahan ini secara damai,” ungkapnya.



 1.      Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni.
 2.      Starke, J.G, 1997, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika 
 3.   http://keamanan-global.blogspot.com/2013/03/konflik-ambalat-kembali-menghangat.html